Kehidupan

Anjani – 4

Cerita Sebelumnya…

Bogor, 2006

Ketika suasana sekolah sudah mulai sepi, yang tersisa hanyalah guru dan pegawai sekolah, Jani hanya diam didepan pagar. Ambisi dengan keinginannya bahwa dia sangat ingin masuk kesekolah itu. Akhirnya Ibu Jani memutuskan untuk menemui Kepala Sekolah.

-Ruang guru

” Tok.. Tok.. Tok.. ” suara ketukan pada pintu yang sebenarnya kondisi pintu itu terbuka, tanda permisi meminta izin masuk “Permisi.. Assalamu’alaikum.. ” Ibu Jani memulai bicara.

Seluruh isi ruangan menengok ke arah pintu. Didapati seorang wanita yang terlihat lusuh dengan sedikit membungkuk sambil tersenyum. Ada yang terlihat jutek dan tak acuh, ada pula yang terlihat ramah penuh dengan senyum sebagai tanda membalas wanita itu, salah satunya guru cantik yang tadi sudah mengetes anaknya.

Satu dari mereka ada yang menjawab “Wa’alaikumsalam.. Ada keperluan apa ibu?” Lagi-lagi guru cantik itu yang merespon kehadiran Ibu Jani. Memang pantas dibilang baik guru ini. Selain cantik, hatinya pun ramah.

“Saya orang tua murid yang barusan mengikuti pendaftaran dan pengetesan disini bu.” belum sempat beres bicara, guru cantik itu memutus pembicaraan

“Oh iya saya ingat, Ibu ini orang tuanya Anjani ya?” tanya guru itu dengan antusias “Eh maaf ibu, saya memotong pembicaraan. Anjani anak yang sangat cerdas bu. Sudah pasti dia masuk ke sekolah ini. Jani masuk kan bu? Dia diterima kan?” lanjut guru itu berbicara dan diakhiri dengan bertanya.

Ibu Jani hanya tersenyum ragu, lalu menjawab “Iya bu, saya Ibu nya Anjani, alhamdulillah Jani memang anak cerdas, tapi untuk masuk ke sekolah ini Anjani sepertinya belum pantas.” Guru cantik itu terkejut mendapati jawaban dari Ibu Jani.

“Maksud ibu? Anjani tidak diterima disekolah ini?” Tanya lagi guru itu dengan nada yang agak tinggi, menyebabkan seluruh ruangan kembali melirik ke arah pintu. Merasa tidak enak, guru itupun mengajak Ibu Jani untuk duduk dikursi depan ruang guru.

“Iya bu, Jani tidak diterima.” Jawab ibu sekenanya tak banyak bicara.

“Saya heran, kok bisa ya? Dari sekian anak yang saya dapat untuk saya tes, hanya Jani yang menurut saya paling sempurna.” Guru cantik itu semakin heran. Tanpa sengaja menengok ke arah gerbang, terlihat jelas ada Jani disana sedang duduk bersandar menatap kosong arah seluruh penjuru yang ada disekolah itu. “Kasian Anjani, saya rasa ini ada kesalahan.” Gumam guru itu dalam hati.

“Ibu, mari ikut saya. Kita bicarakan ini pada Kepala Sekolah.” Ucap Guru itu tiba-tiba sambil beranjak berdiri mengajak Ibu Jani.

“Tapi bu, apakah tidak masalah?” Tanya Ibu Jani ragu.

“Sekarang saya tanya, tujuan ibu tadi ruang Kepala Sekolah untuk apa? Pasti untuk membicarakan hal ini kan? Mari saya bantu bu.” Guru cantik itu balik bertanya dan menjawabnya sendiri.

Akhirnya Ibu Jani dan guru itu pergi ke ruang kepala sekolah untuk meminta alasan kenapa Anjani tidak bisa masuk?.

Saat diruangan kepala sekolah, Ibu Jani merasa tidak enak, dia hanya duduk di kursi tunggu sambil mendegarkan pembicaraan guru itu kepada kepala sekolah yang menjelaskan bagaimana yang sebenarnya terjadi. Dan terdengar dengan jelas.

“Beberapa orang tua siswa yang tidak memberi upah pada bagian pendaftaran ya inilah hasilnya, mereka akan sulit masuk.” terdengar jelas suara itu, tapi itu bukan suara dari guru yang tadi bicara dengannya. Sudah pasti ini suara kepala sekolah. Hati Ibu Jani begitu terkejut saat mendengar ucapaan itu. Sejahat itukah dunia pendidikan? Mementingkan yang berbau uang lalu urusan hasil dikedepankan. Yang ada dipikirannya saat itu bulat, dia tidak akan memasukkan anak kesayangannya kesekolah ini. Tiba-tiba guru itu keluar bersama seorang wanita kisaran 48 tahunan dengan postur tubuh yang gemuk menghampiri Ibu Jani.

“Akan ku batalkan saja ini. Aku tidak ingin anakku masuk ke sekolah ini” Umpat Ibu Jani dalam hati, sambil menatap kedua wanita dihadapannya.

“Jadi ini ibu nya Anjani yang tadi kamu cerita Rita?” Tanya kepala sekolah itu kepada guru yang ramah itu. “Oh, guru cantik ini bernama Rita?” Tanya Ibu Jani dalam hati menandakan terjawab pertanyaan yang belum sempat tertanyakan dari tadi.

“Iya bu, ini Ibu Anjani yang tadi saya ceritakan.” Jawab guru Rita meyakinkan.

“Baik bu, begini. Sebelumnya saya memohon maaf, anak ibu belum bisa diterima di sekolah ini karna usianya yang masih terpaut jauh dengan batas usia yang kita tentukan.. Kita menerima siswa yang sudah genap 6 tahun, sedangkan Anjani ini, 6 tahun saja dia belum menginjaknya. Jadi, alangkah baiknya.. Pihak kami memutuskan untuk tidak menerima anak di bawah 6 tahun, karna ditakutkan akan susah menerima pelajaran.” Jelas Kepala Sekolah itu dengan penuh alibi. Mungkin benar, tapi ucapannya yang jelas-jelas tadi Ibu Jani dengar sangat meyakinkan bahwa wanita ini tidak berkata sebenarnya.

“Tapi, setelah saya mendengar penjelasan dari Bu Rita, bahwa Anjani adalah anak yang cerdas. Saya jadi tertarik untuk mengetes kembali Anjani, dan jika apa yang dikatakan Bu Rita ini benar, saya akan menjamin Anjani bisa masuk kesekolah ini. Namun, jika Anjani tidak bisa menjawab pertanyaan saya, meskipun itu hanya satu saya tidak bisa mengizinkan Anjani untuk masuk ke sekolah ini.” Penjelasan kepala sekolah itu menantang.

Ibu Anjani terbelalak mendengar semua itu, Bu Rita yang duduk di samping kepala sekolah itu hanya menunduk merasa gagal untuk membantu mewujudkan impian Jani.

“Baik bu, insyaallah anak saya bisa.” Jawab Ibu Jani dengan yakin. Meskipun dalam hatinya menolak, tapi dia berpikir ini kesempatan terakhir untuk anaknya. Selain itu juga, dia ingin anaknya bahagia bisa mewujudkan mimpinya.

“Satu lagi, jika Anjani berhasil dan bisa diterima disekolah ini, ada syaratnya.” Lanjut kepala sekolah itu, “Ibu harus membayar kursi untuk Anjani sebesar lima ratus ribu rupiah” Jelas kepala sekolah itu terang-terangan.

Ibu Jani semakin tak abis pikir dengan sekolah yang katanya berkelas tinggi ini. Seperti ini kah pendidikan yang berkelas? Bukannya berkualiatas malah menganut sistem memeras.

Sambil menarik napas, dan bicara dengan perlahan “Lahaulaa Wala Quwwata Illa Billah” ucapnya. “Baik bu, saya setuju.” Mau tak mau dia menyetujui perjanjian ini.

“Ya allah.. Aku memohon segala ridho mu, ku setujui perjanjian ini. Aku yakin ini bukan sogok menyogok yang dilakukan oleh orang tua murid yang lain, bahkan perjanjian ini permintaan dari mereka, dan ini secara terang-terangan disaksikan oranglain, Bu Rita. Berilah Anjani anakku kemudahan ya allah.” Jerit Ibu Jani dalam hati.

Akhirnya mereka beranjak pergi ke salah ruang kelas yang ada di sekolah itu.

“Anjani… Sini sayang!! ” Teriak ibu memanggil Jani, Jani berlari menghampiri ibu.

“Ayo sayang, kamu bakal di tes lagi.” Ucap ibu menyemangati Jani.

“Wah? Yang benar bu? Kok Jani di tes lagi?” Tanya Jani bingung.

“Iya sayang, kata Bu guru Jani di itu hebat, jadi Jani di kasih kesempatan sekali lagi buat ikut tes di sekolah ini.” Jelas ibu.

“Wahh?? Tapi Jani bakal diterima kan bu?” Tanya Jani berharap.

“Jani bakal diterima disekolah ini, asal Jani harus jawab pertanyaannya baik-baik ya!! Harus benar semua! Oke sayang?” Jawab ibu meyakinkan.

“Iya bu, Jani pasti bisa jawab lagi!” Anjani bersemangat.

Ibu Jani semakin yakin bahwa Jani akan bisa diterima di sekolah ini. Mereka pun berjalan menyusul kepala sekolah dan Bu Rita ke ruang kelas.

Apakah Jani bisa menjalankan tes keduanya? Tunggu cerita selanjutnyaa

Tinggalkan komentar